WASPADAILAH DUA GOLONGAN MANUSIA

 Abu Muhammad Herman

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu para ulama salaf mengatakan, 'Berhati-hatilah dari dua golongan manusia, yaitu pemilik hawa nafsu yang telah terjerat oleh hawa nafsunya dan pemilik -kesenangan- dunia yang telah terbutakan hatinya oleh dunianya.'"

Beliau juga berkata: “Dahulu mereka juga mengatakan, 'Waspadalah dari fitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh. Karena sesungguhnya fitnah yang menjerat mereka berdua merupakan bencana yang bisa mencelakakan semua orang yang tertimpa oleh fitnah itu.'" (Dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga al-Fawa’id hal. 99 dan Ighatsat al-Lahfan hal. 668)

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Itulah akibat ilmu yang tidak dibarengi dengan rasa takut kepada Allah atau karena rasa takut yang sangat tipis.  

Ketika ilmu mengabarkan kepada mereka tentang kebenaran dan ternyata hawa nafsunya tidak menyukainya maka dia pun lebih mengutamakan selera hawa nafsunya dan mencampakkan ilmunya. Inilah bencana yang menimpa golongan orang yang berilmu!

Oleh sebab itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata:

“Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 142).

Beliau juga mengatakan:

“Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (dikutip dari al-Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 22).

Diriwayatkan pula dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa beliau berkata:

“Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya dengan sanad dha’if marfu’, lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan ketika menyinggung firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Kata beliau:

“Maknanya adalah tidak ada yang merasa takut kepada-Nya kecuali seorang yang berilmu. Ini artinya Allah memberitakan bahwa setiap orang yang takut kepada Allah maka itulah orang yang berilmu. Sebagaimana yang Allah ceritakan di dalam ayat lainnya (yang artinya), ‘Apakah sama orang yang senantiasa taat mengerjakan sholat dengan bersujud dan berdiri di sepanjang malam serta merasa takut akan hari akherat dan mengharapkan rahmat Rabbnya (dengan yang tidak demikian itu). Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.’ (QS. az-Zumar: 9). Sementara rasa takut/khas-yah itu pasti mengandung rasa harap, sebab kalau tidak demikian maka hal itu adalah sebuah keputusasaan. Sebagaimana halnya rasa harap pasti menuntut adanya rasa takut, sebab kalau tidak demikian maka yang ada adalah rasa aman -dari makar Allah-. Maka, orang-orang yang senantiasa memiliki rasa takut dan harap kepada Allah itulah sebenarnya ahli ilmu yang dipuji oleh Allah.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 20)

Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” Ibnu Taimiyah mengomentari, “Demikianlah penafsiran yang dikatakan oleh segenap ahli tafsir.” Lalu beliau juga mengutip perkataan Mujahid, “Setiap orang yang berbuat maksiat maka dia adalah bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)

Oleh karena itu pulalah mengapa para ulama salaf membiasakan diri untuk memulai karya mereka dengan menuliskan hadits innamal a’malu bin niyat. Hadits yang sangat agung dan mengingatkan tentang ajaran Islam yang paling mulia yaitu tauhid dan keikhlasan. Sebab dengan memperhatikan kandungan hadits yang agung itu manusia akan teringat bahwa semua amal mereka tidak ada artinya jika tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah ta’ala.

Keikhlasan yang ada pada diri seorang hamba itulah yang akan menuntut dirinya bersikap jujur di hadapan Allah ta’ala. Di mana saja mereka berada, Allah senantiasa mengawasi mereka. Innallaha kaana ‘alaikum raqiiba (sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian), sebagaimana yang sering dibacakan oleh Nabi di hadapan para sahabat dalam khutbatul hajahnya…

al-Harits al-Muhasibi mengatakan, “…sesungguhnya keikhlasan itu membutuhkan shidq/kejujuran, sedangkan shidq tidak membutuhkan kepada apapun. Karena hakekat ikhlas adalah menginginkan Allah dalam melakukan ketaatan. Terkadang seseorang menghendaki -ridha- Allah dengan sholatnya akan tetapi hatinya lalai dari menghadirkan-Nya. Adapun shidq/kejujuran dan ketulusan adalah menginginkan Allah dalam beribadah dengan diiringi hadirnya hati untuk mengingat-Nya. Setiap orang yang tulus pasti ikhlas, namun tidak setiap orang yang ikhlas pasti tulus.” (dikutip dari penjelasan Imam an-Nawawi dalam syarah Arba’in yang terdapat dalam ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 29).

Kalau seorang hamba tulus dalam beribadah dengan ikhlas kepada Allah dan tidak berniat mencari pujian manusia niscaya dia akan berjuang menundukkan hawa nafsunya di kala sendirian sebagaimana ketika dia bersama dengan orang-orang. Dengan demikian, dia akan menjadi sosok ahli ilmu yang sejati, yang merasa takut kepada Allah ketika bersama orang lain maupun ketika sepi dan sendiri.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:

“Seorang yang berilmu masih terus disebut sebagai orang bodoh sampai beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya maka barulah dia menjadi orang yang alim.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ al-Ilmi al-’Amala)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Tidak akan terkumpul keikhlasan di dalam hati bersamaan dengan kecintaan kepada pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia kecuali sebagaimana berkumpulnya air dengan api dan dhabb/sejenis biawak dengan ikan (mangsanya, pent)…” (al-Fawa’id, hal. 143).

Sesungguhnya kesesuaian ilmu dengan amalan, kunci utamanya adalah keterjagaan hati dari kotoran riya’ dan perusak-perusak keikhlasan. Sehingga ada di antara ulama salaf yang berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, ikhlaslah niscaya kamu akan selamat.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

“Barangsiapa yang baik isi hatinya pastilah baik -amal- badannya, dan tidak sebaliknya.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 11).

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:

“Kekhusyu’an badan mengikuti kehusyu’an yang ada di dalam hati. Apabila seorang bukan termasuk orang yang mencari pujian dan menampak-nampakkan sesuatu yang tidak ada di dalam hatinya yaitu sebagaimana yang disindir dalam sebuah riwayat ‘Berlindunglah kalian dari khusyu’nya orang munafik’ yaitu badannya terlihat khusyu’ akan tetapi hatinya kosong dan lalai…” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 27).

Sufyan bin Uyainah berkata:

“Barangsiapa yang membaguskan tingkah lakunya di kala sembunyi niscaya Allah akan membaguskan urusannya di kala terang-terangan. Barangsiapa yang membaguskan hubungan dirinya dengan Allah maka Allah akan membaguskan hubungannya dengan orang lain. Dan barangsiapa yang beramal untuk kebaikan akheratnya niscaya akan Allah cukupkan urusan dunianya.” (HR. Ibnu Abi Dunya dalam Kitab al-Ikhlas, dinukil dari al-Iman hal. 11).

Begitu pula sebaliknya, semangat kuat untuk mengabdi kepada Allah namun tidak dilandasi dengan ilmu, justru menimbulkan kerusakan-kerusakan.

Tidakkah kita ingat betapa menyeramkan celaan dan kecaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sekte Khawarij? Beliau mengatakan bahwa mereka itu adalah ‘seburuk-buruk makhluk’, ‘orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat’, ‘mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka’, ‘mereka keluar dari agama laksana anak panah yang melesat menembus sasarannya’? Bukankah mereka itu adalah orang yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, “Kalian akan meremehkan sholat kalian dibandingkan dengan sholat mereka, dan puasa kalian jika dibandingkan dengan puasa mereka.”? Bahkan mereka adalah orang-orang yang pandai membaca al-Qur’an! Namun, lihatlah bagaimana semangat mereka yang kebablasan telah menggiring mereka menjadi kelompok sesat yang tega membunuhi ahli iman dan justru membebaskan ahlil autsan (penyembah berhala)! Apa lagi sebabnya kalau bukan karena kebodohan mereka terhadap manhaj/cara beragama yang benar yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dijelaskan oleh para sahabatnya? Allahul musta’an

Maka benarlah perkataan Amirul Mukminin fil Hadits al-Imam al-Bukhari rahimahullah yang membuat sebuah bab di dalam Kitab al-’Ilmi dalam Shahihnya dengan judul ‘al-’Ilmu qoblal qoul wal ‘amal’; ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Inilah kaedah agung yang telah dilupakan oleh sebagian besar kaum muslimin… Sehingga menyebabkan mereka berbicara, mengajak, dan bertindak tanpa landasan ilmu dari al-Kitab maupun as-Sunnah, namun hanya bersandar kepada adat tradisi dan taklid kepada tokoh-tokoh dan leluhur mereka yang tidak mengenal ajaran agama sebagaimana mestinya, subhanallah! Tidakkah mereka ingat firman Allah yang mulia (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang yang beriman lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka alternatif pilihan yang lainnya dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Dahulu para salaf menyebut orang-orang yang menganut pemikiran yang bertentangan dengan sunnah serta menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Rasul dalam perkara ilmu yang bersifat pemberitaan -dari Allah- maupun yang menyeleweng dalam masalah hukum amaliyah sebagai penganut syubhat dan pengekor hawa nafsu. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya pemikiran yang menyelisihi Sunnah adalah kebodohan dan bukan ilmu, itu adalah hawa nafsu dan bukan agama. Oleh sebab itu orang yang tetap bersikeras mengikutinya digolongkan dalam kelompok orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memperhatikan petunjuk dari Allah, yang pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan di dunia dan kebinasaan nanti di akherat…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 639).

Dengan demikian hakekat orang yang berilmu adalah orang yang setia mengikuti Sunnah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Maka orang yang paling berilmu dan paling sehat akal, pemikiran, dan cara penilaiannya adalah orang yang akal, pemikiran, dan cara penilaian/istihsan-nya serta analoginya bersesuaian dengan Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Ibadah yang paling utama adalah pemikiran yang bagus, yaitu mengikuti Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa apa yang telah diturunkan oleh Rabbmu kepadamu itulah yang benar.’ (QS. Saba’: 6).” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 638-639)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Sumber dari semua fitnah itu adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)

Dari sinilah kita menyadari betapa agungnya doa yang kita panjatkan setiap hari di dalam sholat kita, ‘ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhaalliin’. Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat. Dan dari sinilah kita bisa memahami mengapa sedemikian besar rasa takut para ulama salaf akan bahaya kemunafikan. Sampai-sampai dikatakan oleh Ibnu Abi Mulaikah, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semuanya merasa khawatir dirinya terjangkit kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

“Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25).

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Firman-Nya ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhaalliin’ mengandung penjelasan mengenai dua ujung penyimpangan dari jalan yang lurus. Ayat ini menjelaskan bahwasanya penyimpangan kepada salah satunya menjerumuskan kepada kesesatan, yang pada hakekatnya itu merupakan bentuk kerusakan dalam hal ilmu dan keyakinan. Adapun penyimpangan kepada ujung yang lainnya menyeret kepada perkara yang dimurkai yang penyebabnya adalah kerusakan dalam hal niat dan perbuatan.” (al-Fawa’id, hal. 21)

Berkat taufik dari Allah untuk bisa bersabar di atas ketaatan dan menjauhi kemaksiatan serta mengamalkan ilmunya, seorang hamba akan terselamatkan dari murka Allah ta’ala. Sebagaimana berkat taufik dari Allah ta’ala untuk memahami kebenaran dan batasan-batasannya serta mengetahui cara yang benar dalam beribadah kepada Allah ta’ala, seorang hamba akan terselamatkan dari kesesatan.

Dan ini semua artinya adalah, setiap hari -bahkan setiap kali sholat, bahkan setiap raka’at [!]- kita dituntun oleh Allah ta’ala untuk memohon kepada-Nya anugerah kesabaran agar terlepas dari belenggu hawa nafsu yang menjerat kita dalam murka-Nya karena tidak mengamalkan ilmu, serta memohon kepada-Nya keyakinan supaya bisa terbebas dari hembusan syubhat dan kebodohan yang akan menyesatkan kita dari jalan-Nya. Sungguh besar kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Alangkah benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada perempuan ini -yang kehilangan anaknya dan menyusui setiap bayi yang ditemuinya, pent- kepada bayinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Subhanallah!

Maka waspadalah -wahai saudara-saudaraku- dari kedua golongan manusia itu; golongan manusia yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, dan golongan manusia yang beramal tapi tidak melandasinya dengan ilmu

Jangan sampai kita termasuk di dalamnya! Dan marilah bertaubat dari kesalahan-kesalahan kita, karena dengan jalan taubat itulah keberuntungan akan bisa diraih. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur: 31).

Ya Allah, kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami menyadari kezaliman yang kami lakukan kepada diri-diri kami maka ampunilah kami, sebab seandainya Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami pastilah kami tergolong orang-orang yang merugi. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan kehormatan, dan rasa cukup -di dalam hati-. Segala puji hanya bagi-Mu, kami tak sanggup menghingga pujian untuk-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu. Tiada yang berhak diibadahi kecuali Dirimu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Yogyakarta, 11 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu membutuhkan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
http://abumushlih.com/waspadailah-dua-golongan-manusia.html/
Keheningan merayap pelan
Berat desahan nafas...menghimpit rongga dada
Tertunduk lesu...di hamparan sajadah
Sunyi membahana hantarkan jiwa berpetualang
Bersimpuh ...di pintu PENGHARAPAN PENGAMPUNAN
...Dinding menuliskan kesaksian kelak atas laku jiwa yang ponggah
Tersungkur nyaris mati,hinanya diri di peluk keangkuhan
Berdiri,tertatih tuk berbenah,sisa-sisa nafas ''NIKMAT''
Ampuni kesombongan ini Yang Maha Kasih.
 
Km titipkan sbuah kelakuan yg sedang mengelupas diri pd sejentik pengakuan rayapan sadar yg tlh pagi,,
Mgkn kelakmu adl kebaikan yg trhasrat lahir nanti dr bagian hati bunga yg sekuntumnya mampu mencuri juta'an makna dn kerahasia'an rasa,,
Sg...alanya yg tlh trjaga leburlah dlm sebentuk do'a embun saat ia meminta sejuk brsamanya utk skedar mengisi ruang kesejukannya..
Hati,,
 
 

MANDI WAJIB

 

Mandi suci, adalah sebutan bagi mandi wajib dalam rangka mensucikan diri dari janabah. Demikianlah sebagian orang mengistilahkannya.
Wajibnya mandi bagi seorang yang junub terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian sedang junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Banyak ulama yang menyebutkan hikmah disyari’atkannya mandi suci. Diantaranya adalah untuk mengembalikan kebugaran badan dan juga melancarkan peredaran darah dalam tubuh, terkhusus setelah melakukan hubungan suami-istri (jima’). Hal senada pun dilontarkan oleh para dokter dan ahli kesehatan. (Taudhihul Ahkam, 1/367)
Telah diriwayatkan dari shahabat Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir (menggauli) istri-istrinya secara berurutan. Tiap kali mendatangi istrinya, beliau pun mandi. Kemudian aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau cukupkan hanya dengan sekali mandi saja?’. Beliau menjawab:
هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَر
“Ini lebih suci, lebih baik, dan lebih bersih.” (HR. Ahmad no. 22742 dan Abu Dawud no. 219. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 219)
Pembaca, pembahasan kita kali ini bukan mengenai tata cara mandi suci, namun berkaitan dengan beberapa keadaan yang mengharuskan seseorang melakukan mandi suci. Masalah inilah yang akan kita bicarakan pada edisi kali ini.
Sebelum kita masuk kepada pokok pembahasan, perlu ditanamkan terlebih dahulu pada benak kita bahwa pembahasan seperti ini bukanlah sesuatu yang porno sebagaimana anggapan segelintir orang. Namun ini merupakan permasalahan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dibahas secara ilmiah oleh para ulama besar dari masa ke masa.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang tersisa dari problematika umat, melainkan telah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak heran, jika kaum musyrikin pernah terperangah seraya berkata kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu:
“Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat. Salman menjawab: Ya, benar”. (HR. Muslim no. 262)
Tapi di sisi lain, jangan pula pikiran kita dibiarkan liar membayangkan hal-hal yang negatif, ketika mulai mamasuki pembahasan yang agak sedikit sensitif. Semuanya harus dibangun di atas sikap ilmiah, jujur, serta mengharapkan tambahan ilmu yang bermanfaat.
Pembaca, berikut ini beberapa keadaan yang mengharuskan mandi suci:
1. Mandi Karena Keluar Air Mani
Kewajiban mandi suci karena keluar mani ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنْ الْجَنَابَةِ
“Jika engkau mengeluarkan air mani, maka mandilah dengan mandi janabah.” (HR. Ahmad no. 806. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’ no. 125)
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Ini merupakan kesepakatan para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in. Dan ini adalah pendapat dari Sufyan, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Nailul Authar, 1/382)
Begitu pula wanita, mereka juga bisa keluar mani sebagaimana laki-laki. Dengan sebab mani itu, muncullah sifat identik sang anak, apakah memiliki kemiripan dengan ayah atau dengan ibunya. Ketika ditanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ؟
“Ya, darimana adanya persamaan anak (dengan ayah atau ibunya kalau bukan karena mani tersebut)?.” (HR. Muslim no. 310 dari Ummu Sulaim)
Namun mani wanita berbeda dengan mani laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَاءُ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani wanita encer dan berwarna kuning.” (HR. Muslim no. 310, 315 dari Ummu Sulaim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun mani wanita berwarna kuning, encer. Namun terkadang warnanya bisa memutih karena kelebihan kekuatannya. Berikutnya, mani wanita bisa ditandai dengan dua hal: pertama; aromanya seperti aroma mani laki-laki. Kedua; terasa nikmat ketika keluar. Dan setelah keluarnya, syahwat menjadi reda.” (Syarah Shahih Muslim, 3/223)
Sebagaimana halnya laki-laki, bila seorang wanita keluar mani, maka ia wajib mandi suci.
Adapun jika yang keluar adalah madzi, atau wadzi maka tidak wajib mandi. Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi tidak terasa, dan seringkali keluar ketika syahwat seseorang memuncak sebelum bercampur dengan istrinya (jima’) ataupun di luar jima’.
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hal ini berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِي الْمَذْيِ الْوُضُوءُ وَفِي الْمَنِيِّ الْغُسْلُ
“Tentang madzi cukup berwudhu, sedangkan mani wajib mandi.” (HR. Ahmad no. 827)

2. Mandi Karena Mimpi Basah (ihtilam)
Seorang yang mengalami mimpi basah (ihtilam) dan keluar air mani, maka wajib baginya mandi suci. Baik yang mengalaminya laki-laki maupun wanita.
Beda halnya dengan seorang yang mimpi senggama namun ketika terbangun tidak melihat air mani yang keluar, maka tidak wajib baginya mandi suci. Hal ini sesuai dengan hadits dari Khaulah bintu Hakim radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang wanita yang bermimpi seperti mimpinya laki-laki. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتَّى تُنْزِلَ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ غُسْلٌ حَتَّى يُنْزِلَ
“Tidak wajib baginya mandi sampai ia mengeluarkan mani, seperti halnya laki-laki tidak wajib mandi hingga ia mengeluarkan mani.” (HR. Ibnu Majah no. 594. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 2187)

3. Mandi Setelah Bersetubuh (Jima’)
Kemudian, keadaan lain yang menyebabkan seseorang wajib mandi suci adalah setelah melakukan jima’. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila kemaluan (suami) telah masuk ke dalam kemaluan (istrinya), maka wajib mandi.” (HR. At-Tirmidzi no. 108. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunani At-Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan bahwa jima’ merupakan sebab wajibnya seseorang melakukan mandi suci, baik keduanya mengeluarkan mani ataupun tidak. Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah. (Nailul Authar, 1/384)
Dalil yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“Seseorang bertanya kepada Rasulullah mengenai laki-laki yang menyetubuhi istrinya, kemudian ia malas meneruskannya sebelum keluar mani. Ketika itu kebetulan ‘Aisyah duduk di situ. Kemudian Rasulullah menjawab: ‘Sungguh aku pernah berbuat demikian dengan (‘Aisyah) ini, lalu aku mandi.” (HR. Muslim no. 527)

4. Mandi Setelah Berhentinya Darah Haid
Kewajiban mandi suci setelah berhentinya darah haid ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis). Maka hendaknya kamu menjauhkan diri dari para istri (pada kemaluannya) ketika haid; dan janganlah kamu mendekati mereka (menjima’i) sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci (telah mandi) silakan datangi (jima’i) mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kaum wanita untuk melakukan mandi suci ketika darah haid telah berhenti sebelum mereka digauli oleh suaminya.
Dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati beliau pernah bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
“Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat. Bila telah berlalu haidmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)
Hadits di atas menunjukkan wajibnya mandi suci bagi wanita yang telah berlalu masa haidnya, sebelum ia mengerjakan shalat. Karena shalatnya tidaklah sah kecuali bila sebelumnya telah melakukan mandi suci.
Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan kesepakatan para ulama tentang wajibnya mandi suci bagi wanita yang telah berhenti darah haidnya. (Al-Majmu’, 2/163)
5. Mandi Setelah Berhentinya Darah Nifas
Darah nifas adalah darah yang berasal dari rahim, dan keluar melalui kemaluan wanita usai melahirkan kandungannya. (Taudhihul Ahkam, 1/467)
Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengistilahkan haid dengan sebutan nifas, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا نَرَى إِلا الْحَجَّ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرِفَ أَوْ قَرِيبًا مِنْهَا حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ أَنَفِسْتِ يَعْنِي الْحَيْضَةَ قَالَتْ قُلْتُ نَعَمْ
“Kami keluar Madinah bersama Rasulullah guna melaksanakan ibadah haji. Maka tatkala kami sampai di sebuah daerah bernama Sarif, tiba-tiba aku mengalami haid. Rasulullah masuk menemuiku. Ketika itu beliau mendapatiku sedang menangis. Beliau bertanya: ‘Kenapa engkau menangis, apakah engkau mengalami nifas (yakni haid)? ‘Ya’, jawabku.” (HR. Al-Bukhari no. 285 dan Muslim no. 2114)
Oleh karena itu, ketika darah nifas telah berhenti dan tidak keluar lagi, maka wanita tersebut wajib melakukan mandi suci. Ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah.
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan wanita yang mengalami keguguran, apakah dihukumi sebagaimana wanita nifas? Maka hal ini dirinci oleh para ulama. Jika kandungan tersebut berumur 1 sampai 79 hari, maka wanita tersebut tidak dihukumi nifas. Sehingga tidak wajib baginya mandi suci.
Namun jika telah berusia 80 hari atau lebih, maka wanita tersebut dihukumi nifas. Ia tidak boleh melakukan shalat, puasa, dan beberapa ibadah lainnya hingga darahnya berhenti. Jika darahnya telah berhenti, ia wajib melakukan mandi suci. (Majmu’ Fatawa Al-Utsaimin, 11/222)
6. Mandi Bagi Seorang yang Baru Masuk Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mandi bagi orang yang baru masuk Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berargumen bahwa dahulu sangat banyak dari para shahabat yang sebelumnya kafir kemudian masuk Islam, namun tidak dinukilkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka semua untuk mandi.
Adapun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan hadits dari Qais bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Aku mendatangi Rasulullah bermaksud untuk memeluk Islam. Kemudian beliau memerintahkanku untuk mandi dengan air dan daun sidr (bidara).” (HR. Abu Dawud no. 355, An-Nasa’i no. 188, At-Tirmidzi no. 550. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 128)
Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah shahabat Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang baru masuk Islam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan ia untuk mandi. (HR. Ahmad no. 7694. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’ no. 128)
Hadits di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dua shahabat yang baru masuk Islam tersebut untuk mandi.
Adapun dalih tidak adanya penukilan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan semua shahabat yang baru masuk Islam untuk mandi, hal ini tidak menunjukkan bahwa mandi tidak wajib atas mereka. Karena dengan dua kisah yang telah disebutkan di atas, sudah cukup menunjukkan bahwa mandi bagi orang yang baru masuk Islam hukumnya wajib. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Asy-Syaukani, Al-Utsaimin, dan para ulama besar lainnya rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/391)
Demikian beberapa hukum yang bisa kami sajikan pada pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin…

MANDI JANABAH

Hukum dan Tata Caranya

 

Para pembaca, semoga rahmat Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa tercurahkan kepada kita semua. Pada edisi no. 9/II/VIII/1431 lalu telah dibahas sebab-sebab mandi wajib yang diistilahkan dengan mandi janabah. Pada edisi kali ini akan dibahas tentang hukum dan tata cara mandi janabah tersebut.
HUKUM MANDI JANABAH
Para ulama sepakat bahwa seorang yang junub wajib melakukan mandi wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):
Dan jika kalian junub, maka bersucilah (mandilah).” (QS. Al-Maidah: 6)
Begitu juga dengan wanita yang telah suci dari haidh atau nifasnya, diwajibkan mandi seperti mandinya orang yang junub. Berkata Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah : “Mandi seorang wanita dari haidh dan nifas seperti mandinya karena junub.” (Al-Hawi Al-Kabir, 1/226)
TATA CARA MANDI JANABAH
Mandi janabah/mandi wajib memiliki dua cara:
1.   Cara yang sederhana.
2.   Cara yang sempurna.
Pertama: Cara yang sederhana
Cara mandi janabah yang sederhana namun mencukupi/sah adalah cukup dengan berniat dalam hati, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuh secara merata hingga mengenai seluruh rambut dan kulitnya. (Lihat Al-Minhaj, 3/228)
Kedua: Cara yang sempurna
Mandi janabah/wajib yang sempurna terdiri dari:
1.    Niat
Sebelum memulai mandi janabah, maka wajib berniat dalam hati. Karena niat merupakan pembeda antara mandi biasa dengan mandi wajib. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1, Muslim no. 3530 dari ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu)
2.   Mencuci kedua telapak tangan sebelum memasukkannya ke dalam wadah air
Hal ini sebagaimana diceritakan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ يَدَيْهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)
Mencuci kedua telapak tangan dilakukan sebanyak dua atau tiga kali. Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي اْلإِنَاءِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)
3.   Mencuci kemaluan dengan tangan kiri
Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ
Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)
4.   Menggosokkan telapak tangan kiri ke tanah
Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ اْلأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا
Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)
5.   Berwudhu
Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)
Adapun tata cara berwudhu ketika hendak mandi janabah, para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat sunnahnya mengakhirkan pencucian kedua telapak kaki saat berwudhu ketika mandi janabah. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. (Lihat Nailul Authar, 1/271)
Namun jika menilik berbagai hadits yang ada, maka kita dapati bahwa ternyata berwudhu ketika mandi janabah memiliki beberapa cara, yaitu:
Pertama: Berwudhu secara sempurna seperti wudhu ketika hendak shalat. Dalilnya adalah hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat.” (HR. Muslim no. 476)
Kedua: Berwudhu seperti ketika hendak shalat, dengan mengakhirkan mencuci kedua kaki setelah mandi. Juga dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ
Kemudian beliau berwudhu seperti wudhunya ketika hendak shalat, tanpa mencuci kedua telapak kaki.” (HR. Al-Bukhari no. 272)
Ketiga: Berwudhu seperti wudhu ketika hendak shalat, tanpa mengusap kepala. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
ثُمَّ يَغْسِلُ يَدَيْهِ ثَلاَثًا وَيَسْتَنْشِقُ وَيُمَضْمِضُ وَيَغْسِلُ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ رَأْسَهُ لَمْ يَمْسَحْ
Kemudian beliau berwudhu dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, lalu memasukkan air ke dalam hidung sekaligus ke dalam mulut dengan berkumur-kumur, lalu membasuh wajahnya dan kedua tangannya masing-masing sebanyak tiga kali, hingga ketika sudah masuk bagian kepala beliau tidak mengusapnya.” (HR. An-Nasa’i no. 419. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan An-Nasa’i no. 420 bab tidak mengusap kepala dalam wudhu ketika mandi janabah).
Nampak dari hadits-hadits di atas, bahwa ketiga cara tersebut semuanya sunnah untuk dilakukan. Karena masing-masingnya didasari oleh hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikianlah salah satu bentuk penggabungan (jama’) terhadap hadits-hadits diatas yang dilakukan Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa’i (1/225), karya beliau.
6.   Menyela-nyela pangkal rambut dengan jari-jemari hingga kulit kepala terasa basah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِه
Kemudian beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambutnya dengan jari-jari tersebut (hingga terasa basah).” (HR. Al-Bukhari no. 240)
7.   Menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ
Kemudian beliau menuangkan air ke atas kepala beliau sebanyak tiga kali dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 240)
Caranya, tuangan air yang pertama untuk bagian kanan kepala, kemudian tuangan yang kedua untuk bagian kiri kepala, lalu yang ketiga untuk bagian tengah kepala. Cara ini disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ اْلأَيْسَرِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ
Kemudian beliau mengambil air dengan tangannya, yang pertama beliau tuangkan air pada bagian kanan kepalanya, kemudian setelah itu bagian yang kiri, lalu terakhir bagian tengah kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 250, Muslim no. 478)
Inilah cara yang dipilih oleh sebagian ulama besar seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar, Al-Qurthubi, As-Sinji, Asy-Syaukani, dan yang lainnya (Lihat Nailul Authar, 1/270)
8.   Mengguyurkan air ke seluruh tubuh
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ
Kemudian beliau mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Muslim no. 474)
9.   Mencuci kedua kaki
Jika air sudah diguyurkan secara merata ke seluruh tubuh, maka yang terakhir adalah mencuci kedua kaki. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Kemudian terakhir beliau mencuci kedua kakinya.” (HR. Muslim no. 474)
Demikian urutan tata cara mandi janabah yang sempurna. Jika seorang yang junub, atau wanita yang selesai dari haidh atau nifas telah selesai melakukannya, maka ia telah suci dari hadats besar.
Hendaknya orang yang mandi janabah memperhatikan bagian-bagian tubuh yang rawan tidak terkena air, seperti ketiak, pusar, bagian dalam telinga, dan bagian-bagian lainnya.
MANDI BAGI WANITA YANG TELAH SUCI DARI HAIDH DAN NIFAS
Mandi bagi wanita yang telah suci dari haidh dan nifas tata caranya sama dengan tata cara mandi janabah. Namun disunnahkan bagi mereka untuk mewangikan bagian/daerah mengalirnya darah, baik dengan minyak wangi atau dengan jenis wewangian lainnya. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:
وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ
Dan sungguh kami diberi keringanan ketika salah seorang dari kami mandi dari haidh untuk memakai wangi-wangian.” (HR. Al-Bukhari no. 302)
Mewangikan bagian tubuh tempat mengalirnya darah berlaku untuk semua wanita, baik wanita yang berstatus sebagai istri atau gadis. Hal ini tujuannya adalah untuk menghilangkan aroma yang tidak sedap. Demikian menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan juga An-Nawawi (Lihat Fathul Bari 3/239, Al-Minhaj 4/14)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Bila wanita yang mandi haidh tidak memakai wewangian pada daerah tempat mengalirnya darah padahal memungkinkan baginya untuk memakainya, maka hukumnya makruh.” (Lihat Al-Minhaj 4/14)
HUKUM MENGURAI RAMBUT YANG DIIKAT/DIJALIN SAAT MANDI
Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika mandi janabah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ؟ قَالَ: لاَ, إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan. Kemudian menyiramkan air secara merata ke seluruh tubuhmu. Maka dengan begitu engkau telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Namun beda halnya ketika mandi haidh atau nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh. Sebagian ulama berpendapat wajib. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Thawus, Ibnu Hazm, Ahmad bin Hambal, dan yang lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/275)
Adapun mayoritas ulama berpendapat hukumnya mustahab (sunnah), tidak wajib. Disebutkan dalam riwayat lain dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنِّي امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِي فَأَنْقُضُهُ لِلْحَيْضَةِ وَالْجَنَابَةِ قَالَ لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِيَ عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ
Aku adalah wanita yang mengikat kuat rambutku, apakah aku harus melepaskan ikatan tersebut saat mandi haidh dan janabah? Rasulullah menjawab: “Tidak. Namun cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu sebanyak tiga tuangan.” (HR. Muslim no. 497)
Adapun hadits yang memerintahkan wanita melepaskan ikatan rambutnya ketika bersuci, dihukumi dha’if (lemah) oleh ulama pakar hadits. Sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Demikian pendapat yang dipilih Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Baz, dan yang lainnya  (Lihat Taudhihul Ahkam, 1/401)
Berkata Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah: “Bila si wanita memiliki rambut yang diikat, maka tidak wajib baginya melepaskan ikatan rambutnya tersebut saat mandi janabah. Mandi wajib dari haidh sama hukumnya dengan mandi janabah, tidak berbeda.” (Lihat Al-Umm, 1/56)
HUKUM BERWUDHU SETELAH MANDI JANABAH
Seorang yang telah selesai dari mandi janabah tidak wajib baginya berwudhu, baik ia melakukan mandi janabah dengan cara yang sederhana atau cara yang sempurna. Karena ia telah suci dari hadats besar, maupun dari hadats kecil. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berwudhu setelah selesai mandi (janabah).” (HR. At-Tirmidzi no. 107. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Misykah no. 445)
Berkata Ibnu Abdil Barr rahimahullah: “Ulama sepakat, seseorang yang telah selesai melakukan mandi janabah, tidak perlu mengulangi wudhu.” (Lihat Al-Istidzkar, 1/303)
Hal ini jika tidak batal wudhunya sewaktu ia mandi. Jika batal, maka wajib mengulangi wudhunya.
Wallahu a’lam.

Ar-Rifq (Sifat Lemah Lembut)

Ar-Rifq (Sifat Lemah Lembut)

Perhiasan Seorang Muslim

Ar-Rifq adalah sifat lemah lembut di dalam berkata dan bertindak serta memilih untuk melakukan cara yang paling mudah. (Fathul Bari syarh Shahih Al Bukhari)
Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berhias dengan sifat yang sangat mulia tersebut, karena ia merupakan bagian dari sifat-sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dengannya pula merupakan sebab seseorang dapat meraih berbagai kunci kebaikan dan keutamaan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sifat lemah lembut, maka ia tidak akan bisa meraih berbagai kebaikan dan keutamaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini kepada ‘Aisyah-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Lembut yang mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits:
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Orang yang dijauhkan dari sifat lemah lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan.” (HR.Muslim)
Keutamaan sifat Ar-Rifq
Sebagaimana telah diterangkan diatas bahwa sifat Ar-Rifq (lemah lembut) merupakan sifat yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan juga dengannya akan bisa meraih segala kebaikan dan keutamaan. Dengannya pula akan melahirkan sikap hikmah, yang juga merupakan sikap yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam berkata dan bertindak.
Dikisahkan dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk bersama para shahabat radhiyallahu ‘anhum di dalam masjid. Tiba-tiba muncul seorang ‘Arab badui (kampung) masuk ke dalam masjid, kemudian kencing di dalamnya. Maka, dengan serta merta, bangkitlah para shahabat yang ada di dalam masjid, menghampirinya seraya menghardiknya dengan ucapan yang keras. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk menghardiknya dan memerintahkan untuk membiarkannya sampai orang tersebut menyelesaikan hajatnya. Kemudian setelah selesai, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk diambilkan setimba air untuk dituangkan pada air kencing tersebut. (HR. Al Bukhari)
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil ‘Arab badui tersebut dalam keadaan tidak marah ataupun mencela. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menasehatinya dengan lemah lembut:
Sesungguhnya masjid ini tidak pantas untuk membuang benda najis (seperti kencing, pen) atau kotor. Hanya saja masjid itu dibangun sebagai tempat untuk dzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al Qur’an.” (HR. Muslim)
Melihat sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian lembut dan halusnya dalam menasehati, timbullah rasa cinta dan simpati ‘Arab badui tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia pun berdoa: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.” Mendengar doa tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan berkata kepadanya:
Kamu telah mempersempit sesuatu yang luas (rahmat Allah).” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)
(Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa doa Arab badui tersebut diucapkan sebelum ia buang air kecil. Wallahu a’lam)
Perhatikanlah wahai para pembaca yang kami hormati!
Betapa hati manusia itu, pada asalnya, adalah cenderung kepada sikap yang lembut dan tidak kasar. Betapa indah dan lembutnya cara pengajaran dari tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang yang belum mengerti. Dengan sikap hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya melahirkan rasa simpati dan membuka mata hati Arab badui tersebut dalam menerima nasehat. Berbeda halnya tatkala perbuatannya tersebut disikapi dengan kemarahan, yang akhirnya melahirkan sikap ketidaksukaan. Hal ini bisa dilihat dari perkataannya: “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah Engkau merahmati seorangpun bersama kami berdua.”
Selalu memberikan kemudahan kepada orang lain dan tidak mau mempersulit urusan merupakan ciri khas akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِيْنَ
Hanya saja kalian diperintah untuk memudahkan dan bukan untuk mempersulit.” (HR.Al Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi mencintai kelembutan. Dia memberikan pada sifat kelembutan yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan, dan tidak pula diberikan kepada sifat-sifat yang lainnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini mengandung makna keutamaan sifat lemah lembut, anjuran untuk berakhlak dengannya, serta tercelanya sifat kasar dan keras. Sesungguhnya sifat lemah lembut merupakan sebab untuk meraih segala kebaikan.
Makna lafazh hadits, “Dia (Allah subhanahu wa ta’ala, pen) memberikan sesuatu pada sifat lemah lembut yang tidak diberikan kepada sifat kekerasan“, yakni bahwa dengan sifat lemah lembut tersebut, seseorang dapat melakukan perkara-perkara yang tidak akan bisa dilakukan dengan sifat yang menjadi lawannya yaitu sifat keras dan kasar. Ada yang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan pahala pada sifat lemah lembut, yang tidak diberikan pada sifat yang lainnya.
Dengan sifat lemah lembut yang ada pada diri seseorang, dapat menyelamatkannya dari api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang yang diharamkan dari neraka atau neraka diharamkan atasnya? Yaitu atas setiap orang yang dekat (dengan manusia), lemah lembut, lagi memudahkan.” (HR. Tirmidzi)
Ar-Rifq merupakan sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim, terkhusus seorang da’i
Termasuk diantara akhlak-akhlak yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala adalah bersikap lapang dada, menampakkan wajah yang ceria dan bersikap lemah lembut kepada saudaranya sesama muslim.
Sifat tersebut akan mendorong untuk lebih mudah diterimanya dakwah seseorang tatkala ia menyeru ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan terhadap orang kafir tertentu, terkadang perlu untuk bersikap lemah lembut dalam rangka melembutkan hati mereka untuk tertarik masuk ke dalam Islam. Telah diketahui bahwasanya Islam adalah sebuah agama yang ringan dan mudah bagi pemeluknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Setiap orang yang berusaha mempersulitnya pasti akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah kepada kesempurnaan, dan berilah kabar gembira, serta ambillah sebuah kesempatan pada pagi hari, petang serta sebagian dari malam.” (HR. Al Bukhari)
Islam juga memerintahkan kepada pemeluknya untuk bermuamalah dengan sifat lemah lembut kepada sesama manusia, dan bahkan terhadap binatang ternak sekalipun. Sebagaimana dalam hadits:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan untuk berbuat baik atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya (ketika hendak menyembelih), dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim)
Ketika seorang mukmin telah berhias dengan kelemahlembutan, maka akan membuahkan pada dirinya sikap kasih sayang kepada orang lain, dan akan melahirkan pada diri orang lain sikap kecintaan dan keridhaan, serta menumbuhkan sikap segan dari pihak lawan kepada dirinya. Sebaliknya, dengan sikap keras, kaku dan kasar akan membuat lari dan menjauhnya manusia, dan semakin mengobarkan api kebencian dari orang-orang yang menanam benih kebencian kepada dirinya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Sesungguhnya sifat lemah lembut tidaklah berada pada sesuatu kecuali akan membuat indah sesuatu tersebut dan tidaklah sifat lemah lembut dicabut dari sesuatu kecuali akan membuat sesuatu tersebut menjadi buruk.” (HR. Muslim)
Kesimpulannya adalah sepantasnya bagi seorang da’i untuk menghiasi dirinya dengan sifat Ar-Rifq didalam memerintahkan kepada perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari yang mungkar.
Namun, yang perlu diperhatikan bahwa sifat Ar-Rifq tidaklah menunjukkan kelemahan atau ketidaktegasan seseorang dalam berkata dan bertindak. Bahkan dalam sifat Ar-Rifq sendiri, sebenarnya telah mengandung sikap tegas dalam amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Dan tidaklah sikap tegas itu identik dengan sikap keras atau kasar. Dalam keadaan tertentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tegas dan keras. Diantara contohnya:
-    Celaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan memanjangkan sholat tanpa memperhatikan keadaan orang-orang yang berma’mum. (HR. Al Bukhari)
-    Sikap keras beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang makan menggunakan tangan kiri ketika diperintah untuk makan menggunakan tangan kanan. (HR. Muslim)
-    Perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celaka kamu” terhadap orang yang berlambat-lambat melaksanakan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaiki unta. (HR. Al Bukhari)
-    Kerasnya sikap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang (laki-laki) yang memakai cincin emas, setelah ia tahu bahwa perkara itu adalah perkara yang diharamkan. (HR. Muslim)
Sifat Ar-Rifq dalam menghadapi kerasnya problem kehidupan
Dan diantara pedoman dan kaidah syar’i yang harus dipegang teguh dalam menghadapi kerasnya problem (fitnah) dalam kehidupan adalah hendaknya kita menghadapinya dengan sifat Ar-Rifq (lemah lembut), At-Ta’anni (tidak tergesa-gesa), dan Al Hilm (santun).
Maka hendaknya kita bersikap lemah lembut dan tenang/tidak tergesa-gesa dalam segala urusan dan janganlah menjadi orang yang mudah marah. Janganlah kita menjadi orang yang tidak mempunyai sifat ar-rifq, karena dengan sifat ar-rifq selamanya tidaklah akan membuat seseorang itu menyesal, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Tidaklah sifat ar-rifq tersebut berada dalam suatu perkara kecuali akan memperindahnya.
Wallahu a’lam bishshowab.

Sumber:
1.  Risalah fi adda’wah ilallah, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
2.  Al ‘Arbaun Haditsan fil Akhlaq ma’a syarhiha, karya Dr. Ahmad Mu’adz Haqqi.
3.  Adh Dhawabith Asy Syar’iyah limauqifil muslim fil fitan, karya Asy Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz.
4.  Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 2, hal 355-356, karya Asy Syaikh Al ‘Utsaimin.
5.  Fathul Bari kitab Adab bab Arrifq jilid 12, karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani.
6.  Lembah Lembut dalam Dakwah, karya Dr. Fadhl Ilahi.

HIJABKU YANG TERKOYAK


Pagi menyapa
Sejuk saksikan embun di ujung dedaunan
Melebur membasahi bumi dahaga
Jiwa terkoyak menjadi serpihan
Hancur bersama pengharapan untuk sebuah hijab
...Dari hadirnya rasa tak semestinya....
 
jiwa mulai gelisah, bingung degan segala rasa,,ah seperti nya rasa ini membutakan,,tapi enggan untuk meninggalkan,lalu hijab itu,,??
pagi yang telah menyapa,empun yang mulai mengering,sinar matahari yang telah tampak,aku yang masih galau den...gan segala rasa,,oh diri ku,,
 
terhempasku kini ......di padang rindu,perih menjeratku,......rindu sapamu,rindu perhatianmu,.......Aku menangisi diri, aku telah terseret jauh oleh rasa yang ku manja.aku tersungkur kalah,aku dalam tawanan,aku dalam penjara nafsuku dan aku ingin enyah.....tak ku temukan jalanku ...di mana aku di mana?
 
 
aku yang di landa rindu yang salah,di belenggu kehampaan karena ke butaan,,menangisi diri yang penuh noda,tiada arti dan tiada guna,,
aku di tempat nafsu yang menjerumuskan,cinta telah bersatu dalam diri ku,cinta nya seperti madu dan juga ra...cun, manis sekejab,pahit nya terasa mematikan, aku tersungkur dalam nestapa,,
 
 
Aku mengasingkan diri......dari keramaian suara-suara gaduh menghujat,aku menyepi bebaskan hayalku menyapa impian kelabu
berkongsi bersama fantasi.......angin lembut berhembus menrpa wajahku dingin,lambaikan hijab menyadarkanku....aku hanya ...berimajinasi....aku binggung aku semakin asing dengan diri sendiri....
inikah aku....aku bercermin....hanya mampu bertanya pada cermin yang mengambar diriku yang hampir sempurna...aku ponggah .....
 
benar kah aku ponggah,,,?? kalau iya,,aku punya apa untuk di pongkah kan.nmun tetap saja aku dalam kebanggaan,,tak jauh beda,,
bersamaan guliran nya waktu,kini ku sadari kehinaan ku,tak akan aku hujat nasib,karena aku tahu kebodohan dan kece...robohan ku,
pagi telah tiba,,mentari mulai menampakkan sinar nya,membuka cerita tentang kehidupan,kehidupan penuh cinta dan air mata.
 
 
aku di kerjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaiiiin !!!!!

ponggah


berdiri di tepian fajar.......
saksikan kabut tipis memeluk puncak bukit
samar dengarkan kemercik air memecah lenggang sunyi
kau yang terindah
jangan lesukan jiwamu dengan lisan yang naif
...biarkan hilang terbawa hembusan angin
biarkan dengan kegilaannya
berkongsi bangga dengan pemikirannya
kau yang terindah
biarkan dia dengan keponggahannya
BiarLAH Tangan-Tangan Allah sendiri yang menegurNYA.

Allah menilai batin anda lebih dari dhohir anda.

Allah menilai batin anda lebih dari dhohir anda.

by Abah Ghanny

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang masyhur bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya :

“Tuan, saya belum faham mengapa orang seperti anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman yang ini berpakaian baik amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal lain.”Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata :
“Sahabat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cubalah, bolehkah kamu menjualnya seharga satu keping emas”.
Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu dan berkata :

“Satu keping emas ?
jawab Zun-Nun.

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak.
Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali kepada Zun-Nun dan memberitahunya :
“Tuan, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keping perak”.

Sambil tetap tersenyum arif  Zun-Nun berkata :
“Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian”.
Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian memberitahu :
“Tuan, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar”.

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berkata :
“Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sahabat muda. Seseorang tak boleh dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”. Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya dapat dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu perlu proses dan masa, wahai sahabat mudaku. Kita tak dapat menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Kadang-kadang yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”


Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu”.
“Cobalah dulu sahabat muda. Siapa tahu kamu berhasil”, 

**Kecemburuan Istri terhadap Suaminya**

Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah SAW dan shahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Dan perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami istri (Fathul Bari, 9/384).
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.

Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina atau mengurangi haknya atau berbuat dzalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata Al-Hafidz, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekedar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Cemburu Melebihi Batas
Ada kalanya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sangat berlebihan. Di benaknya seolah hanya ada sifat curiga. Bahkan tak jarang ia melemparkan prasangka buruk kepada suaminya dan tidak bisa menerima kenyataan bila suaminya memiliki istri yang lain.
Yang ironis adalah bila ada istri yang mengalami hal ini kemudian tidak dapat menahan diri dari perkara yang Allah haramkan, seperti lari ke “orang pintar.” Dengan bantuan tukang tenung atau tukang sihir, ia berharap suaminya membenci madunya dan hanya mencintai dirinya. Padahal perbuatan sihir merupakan perbuatan kekufuran yang diharamkan, sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya:

“Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir2 akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau berbuat kekafiran.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengannya mereka dapat memisahkan antara suami dengan istrinya. Tidaklah mereka dapat memberi mudharat kepada seorang pun dengan sihir tersebut kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menjual agamanya (menukarnya) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Betapa jelek perbuatan mereka menjual diri mereka dengan sihir itu seandainya mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 102)

Nabi  juga bersabda:
 “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para shahabat bertanya: ‘Apa tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘(di antaranya) Syirik kepada Allah, sihir’…” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Saking cemburunya, sebagian wanita bahkan ada yang sampai berangan-angan tidak dibolehkannya poligami dalam syariat ini. Bahkan ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya bila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tapi lisannya digunakan untuk mencaci maki madunya, meng-ghibah, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 158-159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas wanita merasa mendapatkan musibah yang sangat besar kala suaminya menikah lagi. Semestinya bagi seorang mukminah, apapun kenyataan yang dihadapi, semuanya itu disadari sebagai ketentuan takdir Allah. Semua musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatan agama yang diperolehnya.

Salahkah Bila Aku Cemburu?
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (Al-Ahzab: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa istri-istri Nabi SAW tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (Al-Jami` li Ahkamil Qur’an, 14/115)
Nabi SAW sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran.

‘Aisyah r.a bertutur tentang cemburunya:
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah SAW seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah  banyak menyebutnya dan menyanjungnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah pernah berkata kepada Nabi mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah:
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah? Nabi SAW menjawab: ‘Khadijah itu begini dan begitu, dan aku mendapatkan anak darinya.’” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3818)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sebab cemburunya ‘Aisyah karena Rasulullah SAW banyak menyebut Khadijah meski Khadijah telah tiada dan ‘Aisyah aman dari tersaingi oleh Khadijah. Namun karena Rasulullah sering menyebutnya, ‘Aisyah memahami betapa berartinya Khadijah bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya: “Allah telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah berkata: “Allah tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah kepada ‘Aisyah, karena ‘Aisyah mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)

Pernah ketika Nabi SAW berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi SAW sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi SAW pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata: “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202 )

Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah  tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah SAW berkata kepada ‘Aisyah:
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya.” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini shahih dan rijalnya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)
Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah bahwa Hafshah mencelanya dengan mengatakan: “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi SAW masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Shafiyyah menjawab: “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.” Nabi SAW berkata menghiburnya: “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi dan engkau adalah istri seorang nabi, lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?” Kemudian beliau menasehati Hafshah: “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah”. (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa, hal. 43 dan selainnya).

Begitulah kisah istri-istri Rasulullah (ummahatul mukminin) yang juga memiliki sifat cemburu terhadap suaminya (Rasulullah SAW). Apatah lagi kita sebagai wanita biasa, yang keimanannya sangat jauh dari ummahatul mukminin. Namun yang terpenting adalah bagaimana kecemburuan itu dibingkai tanpa melanggar syariat Islam.

Wallahu a’lam.

**Kecemburuan Suami terhadap Istrinya**

 

Salah satu sifat lelaki yang sholeh adalah pencemburu. Karena hal itu mengisyaratkan adanya perasaan cinta. Islam memuji lelaki yang memiliki rasa cemburu dan mencela orang yang tidak memilikinya.

Selain menganjurkan rasa cemburu, Islam juga memberikan batas-batasnya. Yang mana bila batas-batas ini dilanggar, rusaklah kebahagian rumah tangga. Suami yang sholeh harus mampu memahami hal ini, agar dapat mewujudkan kehidupan Yang sakinah, mawadhah, dan rahmah. seperti dalam sabda rasulullah saw dari Abu Hurairah :   " Allah itu pencemburu dan seorang mukmin juga pencemburu, Kecemburuan Allah itu bila ada seorang hamba datang kepada-Nya dengan perbuatan yang diharamkan-Nya. (HR. Bukhari).   Dari Ibnu Mas'ud ra. Berkata, sa'd bin Ubadah berkata, " Kalau ketahuan ada seorang lelaki bersama istri saya, akan saya potong lehernya dengan pedang sebagai sangsinya."   Bersabda rasulillah saw. : " Herankah kalian dengan cemburunya Sa'ad itu ?, ketahuilah bahwa saya lebih cemburu dari padanya. Demi Allah saya cemburu karena kecemburuan Allah terhadap perbuatan keji, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi " (HR. Bukhari)

Memang haruslah demikian agar seorang mukmin mempunya sifat dan berperangai ilahiyah dan nabawiyah ini. Adapun orang yang tidak mempunyai rasa cemburu, dia tidak dapat menjaga kehormatan Istrinya/ Suaminya. Ia acuh tak acuh Ketika mendapatkan istrinya bersolek dan memakai parfum ketika akan pergi ketempat umum, memamerkan rambutnya, memperlihatkan tubuhnya/ auratnya, dan berbicara dengan dibuat-buat agar menarik perhatian.
Perbuatan seperti itu adalah perbuatan tercela sebagai mana dalam Sabda Rasulillah saw : " Tiga golongan yang tidak bakal masuk surga : orang yang durhaka terhadap bapak ibunya, Duyuts (Orang yang tidak mempunyai rasa cemburu), dan perempuan yang menyerupai laki-laki." ( HR. Nasai dan Hakim).

sumber : http://www.dudung.net/artikel-islami/cemburu.html

Keguncangan jiwa

Bismillahi rohmaanir rohiim..

Hidup manusia pada hakikatnya merupakan perjalanan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, jalan terjal dan berlubang sering menghadang di tengah perjalanan.

Walau sudah mencari jalan alternatif, tapi kadang tidak ditemukan juga, sehingga tidak ada pilihan kecuali menempuhnya. Saat akan menempuh kesulitan itu, jiwa sering kali berguncang.

Ini pertanda jiwa manusia sedang berada di antara tiga kondisi. Bisa lebih tinggi, sama, dan lebih rendah dari kondisi sebelumnya.Ada peluang dan ancaman di dalamnya. Manusia dapat menentukan pada titik mana kondisi yang akan dipilihnya. Jiwanya bisa hancur sehancur-hancurnya, atau naik ke tangga yang lebih tinggi.

''Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.'' (QS Asysyams [91]: 7-8).

Bagi yang berkarakter lemah, perjalanannya pun dihentikan. Ia berhenti sebelum berbuat, berkreasi, dan mengerahkan seluruh potensinya. Ia tak menyadari kesempurnaan dirinya. Padahal, antara teraihnya tujuan dengan posisinya saat ini, hanya dibatasi sebuah jalan terjal dan berlubang itu.

Ia berhenti karena ditakuti oleh bayang-bayang ketakutan yang dibuatnya sendiri. Ia cemas pada kecemasan yang sebenarnya belum tentu terjadi, tapi sudah dicap pasti terjadi pada dirinya.Manusia dengan kondisi ini akan mengalami dua keguncangan jiwa. Yaitu, keguncangan saat melihat jalan yang terjal dan berlubang. Juga keguncangan karena tujuan hidupnya tidak akan pernah tercapai. Akhirnya, yang menghiasi hidupnya hanyalah berkeluh kesah.

''Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.''
(QS Alma'aarij [70]: 9-20).

Adapun bagi yang berkarakter kuat, keguncangan jiwa dikelola menjadi fenomena penyesuaian diri bagi terbentuknya keseimbangan jiwa baru yang lebih tinggi. Ada proses pergulatan untuk menaklukkan ketakutannya.

Muncul keyakinan, karakter, prinsip, dan obsesi hidup baru yang terbentuk. Ia menjadi manusia baru yang telah teruji. Ketakutan diubahnya menjadi energi keberanian dan optimisme. Kecemasannya diganti dengan berlindung, memohon, dan bersandar kepada pertolongan dan perlindungan Allah Azza Wa Jalla semata.

Seperti kisah pasukan Thalut yang jiwanya semakin kokoh dan berani, saat melihat tentara Jalut yang jumlahnya lebih banyak dan terlihat lebih kuat.

''Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, mereka pun berdoa, 'Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir'.'' (QS Albaqarah [2]: 250). Wallahu'alam Bishawab ..

Subhanaka Allahuma wa bihmdika asyhadu ala ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. Wassalamu'alaikum

''Syariat Islam Mengenai cinta dan menikah tanpa cinta "



Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya. Sebagaimana Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya:

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendir , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar Rum: 21)

Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor, karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. Ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram. Cinta mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan dan kerinduan, disamping mengandung persiapan untuk menempuh kehiduapan dikala suka dan duka, lapang dan sempit.

Cinta Adalah Fitrah Yang Suci

Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya.Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan.Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik.

Islam adalah agama fitrah karena itulah islam tidaklah membelenggu perasaan manusia.Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang manusia .Akan tetapi islam mengajarkan pada manusia untuk menjaga perasaan cinta itu dijaga , dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya.

Islam mebersihkan dan mengarahkan perasaan cinta dan mengajarkan bahwa sebelum dilaksanakan akad nikah harus bersih dari persentuhan yang haram.

Menikah Tanpa Cinta

Adakalanya sebuah pernikahan terjadi tanpa dilandasi oleh cinta. Mereka berpendapat bahwa cinta itu bisa muncul setelah pernikahan. Islam memandang bahwa faktor ketertarikan merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Islam melarang seorang wali menikahkan seorang gadis tanpa persetujuannya dan menghalanginya untuk memilih lelaki yang disukainya seperti yang termuat dalam Al Qur’an dan Al Hadist.

Firman Allah Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: "Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suaminya". (QS. Al Baqarah: 232)

Dari Ibnu Abbas rodhiyallahu anhu , bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam , lalu ia memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkannya padahal ia tidak suka , lalu Rasulullah shalallahu ‘alahi wa sallam memberikan hak kepadanya untuk memilih". (HR Abu Daud)

Karena yang menjalani sebuah pernikahan adalah kedua pasangan itu bukanlah wali mereka.

Selain itu seorang yang hendak menikah hendaknyalah melihat dahulu calon pasangannya seperti termuat dalam hadist: "Apabila salah seorang dari kamu meminang seorang wanita maka tidaklah dosa atasnya untuk melihatnya, jika melihatnya itu untuk meminang, meskipun wanita itu tidak melihatnya". (HR. Imam Ahmad)

Memang benar dalam beberapa kasus, pasangan yang menikah tanpa didasari cinta bisa mempertahankan pernikahannya. Tapi apakah hal ini selalu terjadi, bagaimana bila yang terjadi adalah sebuah neraka pernikahan, kedua pasangan saling membenci dan saling mencaci maki satu sama lain.

Sebuah pernikahan dalam islam diharapkan dapat memayungi pasangan itu untuk menikmati kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang dengan mengikat diri dalam sebuah perjanjian suci yang diberikan Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

Karena itulah rasa cinta dan kasih sayang ini sudah sepantasnya merupakan hal yang harus diperhatikan sebelum kedua pasangan mengikat diri dalam pernikahan. Karena inilah salah satu kunci kebahagian yang hakiki dalam mensikapi problematika rumah tangga nantinya.Wallahu'alam

Subhanaka Allahuma wa bihmdika asyhadu ala ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. Wassalamu'alaikum

Ghodhul bashor


Ghodhul bashor adalah seorang muslim menundukkan pandangannya dari perkara yang haram yang tidak boleh dilihat.
Dia tidak melihat kecuali yang dibolehkan baginya untuk dilihat.Apabila tidak sengaja melihat sesuatu yang haram,hendaknya segera memalingkan pandangannya.

Imam Ibnul Qoyyim rohimahullohu berkata:"Pandangan adalah asal dari se...luruh bencana yang menimpa manusia.Bermula dari pandangan akan lahirlah keinginan,dan keinginan akan melahirkan pemikiran.Dari pemikiran akan lahirlah syahwat(hawa nafsu)yang pada akhirnya syahwat itu akan mendorong menjadi keinginan yang sangat kuat hinga terjadi apa yang dia inginkan."

hati2 jg pasang foto di FB,krn juga dpt menimbulkan fitnah bg mata yg memandang,terutama bagi akhwat,sayangi dirimu jgn biarkan mata jalang menikmati wajahmu,membayangkanmu.kecantikan wajah kita bkn untuk diumbar,krn ia bagaikan mutiara yg sgt berharga,persembahkan untuk yg halal kelak..insyaAlloh

Sebuah realita dalam jihad


Oleh: DR. Abu Mujahid

Dari Ummu Athiyah Nasiibah ra, dia berkata: Rosululloh Shalallahu alaihi wassalam membai’at kami untuk tidak meratap. (HR. Al Bukhori dan Muslim) di dalam shohihnya III/141, dan Muslim no. 639.
Saya kira umat ini telah mandul untuk melahirkan seorang sosok seperti Khonsa’ dan Haulah binti Azwar, akan tetapi saya melihat para wanita abad dua puluh ini ada orang-orang yang ingin menjadi seperti para pahlawan wanita ini. Saya lihat seperti Ummu Muhammad istri Asy Syahid Abdulloh Azzam, dalam satu hari dia kehilangan tiga orang yang termasuk manusia-manusia paling mulia, suaminya dan kedua buah hatinya (Muhammad dan Ibrohim) dan dia mengira bahwa hal itu adalah di jalan Alloh.

Demi Alloh, yang tidak ada ilah selain Alloh, sungguh aku sangat bingung apa yang harus kita lakukan untuk berbela sungkawa kepadanya ketika dia masuk untuk bertemu dengan mereka untuk melihat mereka untuk mengucapkan perpisahan yang terakhir. Saya katakan: “Bagaimana mungkin seorang perempuan seperti dia dalam kondisi seperti ini masih ingin melihat mereka? Akan tetapi dia yakin bahwa Alloh Subhanallah ta'ala menurunkan kesabaran sesuai dengan ujian yang dia hadapi. Diriku merasa kecil jika membayangkan kondisinya ketika dia melihat mereka.

Ummu Muhammad berkata: “Ketika kami sampai dirumah Syaikh maka segera saya ingin bertemu untuk melihat mereka yang terakhir kalinya, aku dapati tiga orang dalam keadaan tertutup, kemudian aku dapati anakku yang pertengahan Khudzaifah berdiri di depanku. Maka aku yakin bahwa orang itu adalah suamiku, dan anakku yang paling besar Muhammad (21 tahun) serta anakku yang ketiga (16 tahun), maka aku masuk ke dalamnya dan aku ucapkan perpisahan terakhir kemudian aku kembali ke rumahku, dan aku telah berjanji kepada Alloh untuk tidak menangisi mereka, karena suamiku sebelum kesyahidannya dia pernah bertanya kepadaku: “Apa yang akan engkau lakukan jika Alloh memberikan rezeki kesyahidan kepadaku?” Lalu aku menjawab: “Aku akan bersabar dan tabah insyaAlloh”. Dan sungguh benar-benar aku telah memenuhi janjiku kepadanya, dan aku memohon kepada Alloh untuk memberikan kepadaku kesabaran dan keteguhan hingga mati. (Disadur dari pertemuan di majalah Al Mujtama’ edisi 849, 2 January 1990 M.
Sesungguhnya itu adalah pendidikan Islam secara praktek dari beberapa kejadian-kejadian yang membuat umat ini sebagai sumber yang tidak akan habis airnya untuk mengeluarkan bagi kita orang seperti wanita mujahidah dan sholihah ini, supaya menjadi pelita dan panutan bagi seluruh wanita di dunia ini pada zaman sekarang ini.
Tidak diragukan lagi bahwa istri mujahid ini masih akan terus menjadi contoh yang paling baik bagi para wanita umat ini. Dan dia berada di barisan wanita yang terdepan di medan jihad. Dialah pendiri Al Lajnah An Nisa’iyah Al Arobiyyah (Yayasan Wanita Arab) yang memiliki andil yang sangat besar di dalam berkhidmat untuk jihad. Dibidang pengajaran dan kesehatan serta kesejahteraan keluarga para syuhada’ dan anak yatim.

Sesungguhnya bagi para wanita di dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dan jelas di medan jihad. Telah disebutkan di dalam hadits shohih dari Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Al Bukhori dari Rubai’ binti Muawwidz ra dia berkata: “Kami berperang bersama Nabi Shallallahu alaihi wassalam, kami memberi minum para prajurit dan membantu mereka, mengembalikan yang terluka dan yang terbunuh ke Madinah”.

DR. Abdulloh Azzam berkata tentang hukum keikut sertaan wanita di dalam berjihad: “Peran wanita di dalam jihad adalah perkara yang telah disebutkan di dalam syareat, akan tetapi wajib menjaga syarat-syarat yang disyareatkan: seperti adanya mahrom, tidak bercampur dengan laki-laki, aman dari fitnah, dan ketika dalam keadaan terpaksa yang tidak mampu dilakukan oleh laki-laki. Bisa juga para wanita berada di barisan belakang untuk melakukan kegiatan memasak, mengobati yang sakit dan semisalnya dari kegiatan-kegiatan wanita.

Sedangkan membuka pintu di dalam masalah ini adalah kerusakan yang besar. “Dan jika aku pernah lupa maka aku tidak lupa peran wanita muslimah Afghon di dalam pelaksanaan jihad Afghonistan. Berapa banyak sikap wanita Afghoni di utara Afghonistan dapat membangkitkan semangatku, di desa Khoniz, berkata Syahid Umat Islam ini Abdulloh Azzam: “Kami ketika berada di jalan antara Bazarik dan Rokho kami melewati desa yang namanya Khoniz kemudian Ahmad Mas’ud menunjuk desa tersebut dan berkata: “Di desa ini ada seorang wanita dan anak-anaknya membantu kami pada tahun 1982 M, dan di desa itu tidak ada yang lain selain dia, anaknya seorang mujahid yang berjihad bersama kami, dan kami sangat takjub dengan keberanian wanita tersebut. Jika kami melihat bom itu semakin deras maka kami bersembunyi, namun dia tidak bersembunyi, padahal pada tahun itu peperangan sangat sengit sekali, dan kekuatan itu sangat dekat dengan kami.

Wanita tersebut yang membuat roti buat kami, dia memasak makanan kemudian memberikannya kepada kami dan anaknya. Pada suatu hari langit menghujani kami dengan awannya yang sangat panas, dan tank-tank menyalakkan kobaran apinya, dan kami pada waktu itu berada di sebuah kamar, lalu kami berusaha untuk berpencar, ternyata perempuan tersebut berdiri di depan pintu dan berkata: “Janganlah kalian keluar! Karena api ada dimana-mana nanti akan mengenai kalian”. Dan anak perempuannya ikut membantunya membuat roti dan memasak, tiba-tiba dia terkena serpihan bom dan membunuhnya, maka kemudian dia menutupi anaknya dengan kain penutup lalu perempuan tersebut melanjutkan memasaknya. Kemudian suaminya juga menemui kesyahidan dan tidak ada yang tersisa lagi selain anaknya yang mujahid, lalu anaknya tersebut juga mendapatkan karunia kesyahidan.

Maka seluruh kaum mujahidin bersedih hati dengan hilangnya anak tersebut, lalu kami datang untuk bertakziyah kepadanya. Lalu wanita itu mengatakan: “Sungguh kesediahnku karena tidak dapat memberikan bantuan makanan kalian itu lebih aku rasakan daripada kesedihanku karena kehilangan anak kesayangan hatiku, oleh karena itu sesungguhnya mulai hari ini aku akan terus memasak makanan untuk kalian, dan aku akan membuat roti untuk kalian, aku tinggalkan dan kalian datang untuk membawanya sendiri”. Mas’ud berkata: “Aku kehilangan wanita itu, mungkin dia berhijroh ke Kabul. Dan demi jiwaku jika aku mengetahui tempatnya pasti aku akan membalas atas bantuannya kepada kami”.
Aku berdiri dihadapan keadaan ini dengan pengagungan dan kekaguman! Maka kukatakan Subhanalloh! wanita ini telah mengembalikan perjalanan para shohabiyat yang seperti wanita itu dari seorang wanita kalangan bani Abdud Daar ketika sampai kepadanya kabar kesyahidan suaminya dan saudaranya serta bapaknya, lalu dia berkata: “Apa yang terjadi dengan Rosululloh Shallallahu alaihi wassalam ?” Mereka berkata: “Dia baik-baik saja”. Wanita tersebut berkata: “Setiap musibah selain pada
dirimu wahai Rosululloh SAW adalah kecil” artinya “remeh dan sepele”.

Mana sikap sebagian wanita kaum muslimin di negara-negara Arab? Kalian melihat salah seorang diantara mereka yang takut dari kalajengking dan tikus jika masuk ke dalam rumahnya?
Pernah terjadi suatu kejadian di salah satu kota di Arab bahwa ada seorang perempuan yang suaminya bekerja sebagai guru di sebuah sekolahan Tsanawiyah dan tiba-tiba dia ditelpon oleh istrinya dan bilang cepat-cepatlah pulang karena ada sesuatu yang sangat penting!! Maka suaminya pulang dengan cepat sambil terengah-engah, ternyata istrinya bilang bahwa ada tikus di kamar ini!!.
Sesunggunya wanita seperti ini tidak dapat diandalkan untuk memberikan kemampuannya untuk kaum muslimin di medan-medan perang, apalagi untuk mendidik singa-singa dikandangnya untuk menjadi tentara Alloh, Robbul Alamin.