Hati yang Gersang
Oleh : Achmad Siddik Thoha

Seorang lelaki tua mendapati cucunya yang berusia sepuluh tahun asyik bermain air di sungai dekat rumahnya. Sungai di kampung lelaki tua yang dipanggil Kakek itu masih terlihat jernih dan alirannya tenang. Setiap sore banyak orang-orang pergi ke sungai untuk mandi, bermain dan duduk-duduk di pinggir sungai.

Lima tahun berlalu. Cucu Kakek kini tak lagi berani main ke sungai. Dia hanya bisa melihat sungai dari kejauhan karena airnya sangat keruh dan alirannya sangat deras dan liar. Kakek merasa kasihan karena sungai tidak lagi menjadi sahabat bermain bagi cucunya dan teman-temannya.

“Cu, ikut Kakek, yuk!” Kakek mengamit lengan cucunya.
“Kemana, Kek?
“Ke sungai.” Kakek menunjuk tangannya ke arah sungai.

Cucu dan kakek berjalan perlahan menuju pinggiran sungai.

“Apa yang kau lihat dengan sungai ini sekarang, dibandingkan dengan lima tahun lalu, Cu?” Sang Kakek memulai dialog dengan cucunya.

“Dulu air sungai ini jernih, sekarang sangat keruh. Dulu alirannya tenang di musim hujan dan kemarau, sekarang sangat deras dan mengerikan saat hujan datang dan airnya surut ketika kemarau. .”

”Nah, sekarang kau lihatlah bukit itu. Apa pendapatmu?” Sang Kakek menunjuk sebuah bukit yang gundul, tempat hulu sungai.

”Dulu bukit itu hijau, Kek. Banyak pohon yang tumbuh disana. Kini hanya tanah gersang kecoklatan yang terlihat, Kek.”

”Apakah kamu mengira kalau bukit yang gundul itu penyebab berubahnya sungai ini hingga airnya keruh, arusnya deras kalau hujan dan kering bila kemarau?” Sang Kakek mencoba menguji pengetahuan cucunya.

”Betul kek, hutan di bukit itu sudah tidak ada sehingga sungai di kampung kita menjadi seperti ini.” Sang Cucu menjawab tanpa ragu

”Bukit itu laksana hati kita, cucuku dan sungai ini seperti perilaku kita sedangkan air huan adalah lingkungan kita. Ketika bukit itu terjaga kondisinya dengan hutannya yang lebat, maka tidak mungkin air sungai ini keruh, banjir dan kering. Hutan di bukit membuat air tak dapat menghempas tanah dengan keras dan tanah tidak mudah tergerus dan hanyut masuk ke sungai. Makanya air hujan yang banyak masih sanggup diredam oleh hutan di bukit ehingga air yang mengalir ke sungai menjadi jernih, tenang dan terus-menerus.” Sang Kakek melihat cucunya manggut-manggut mendengar penjelsannya.

”Lalu apa hubungannya dengan hati, Kek?” Sang Cucu sangat antusias mendengar penjelasan filosofis kakeknya

”Sama dengan bukit itu, Cu. Bila hati kita gersang dan tak ada pelindung, maka hempasan godaan dari lingkungan akan membuat hati kita goyah dan tidak tenang. Hati yang gelisah akan terlihat pada perilakunya yang kotor dan tidak terkontrol. Sebaliknya, hati yang subur dan terlindungi, akan bisa meredam godaan lingkungan dan perilakunya akan tetap terjaga dan bersih.”

”Apa yang harus dilakukan agar perilaku kita tetap jernih dan tenang, kek?”

”Agar sungai ini airnya lebih jernih dan arusnya lebih tenang, maka biasanya bukit-bukit yang gundul itu ditanami kembali dengan pepohonan. Pepohonan yang ditanam juga harus dirawat dengan baik sehingga tumbuh subur dan akhirnya dapat berfungsi meresapkan air dan melindungi tanah agar tak tergerus air hujan. Nah, sama seperti hati kita, bila hati kita terasa gersang, tanamilah segera dengan pohon kebaikan dengan cara banyak mengingat-Nya, banyak memberi, menghilangkan kebencian dan banyak bersyukur. Lalu pelihara pohon kebaikanmu itu dari perusak-perusak hati dengan membersihkan hati dari iri dan dengki, menjauhi menggunjing dan banyak berbagi pada sesama. Mudah-mudahan itu akan menjadikan perilakumu menjadi lebih baik dan terjaga dari keburukan.”

”Bagaimana, cu? Kamu masih berminat main di sungai ini? Kakek mencoba mengalihkan pandangan cucunya yang sedari tadi memaandangi bukit gundul.

“Siap, Kek. Tapi harus menunggu bukit itu hijau kembali, kan Kek?

“Hehehe, kalau begitu, kita ajak orang-orang menanami bukit itu, yuk!

“Nah itu baru nyata kek, tidak berwacana saja, hehehe.”

“Ah, kamu bisa saja.” Sang kakek menggandeng tangan cucunya.

Angin dingin mulai mnyergap mereka. Matahari sore mulai meredupkan cahanya. Mereka berjalan perlahan menuju rumahnya, bersiap memenuhi panggilan suara merdu nan mulia untuk menyuburkan hatinya di senja hari.

0 comments: