MANDI WAJIB

 

Mandi suci, adalah sebutan bagi mandi wajib dalam rangka mensucikan diri dari janabah. Demikianlah sebagian orang mengistilahkannya.
Wajibnya mandi bagi seorang yang junub terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Jika kalian sedang junub, maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Banyak ulama yang menyebutkan hikmah disyari’atkannya mandi suci. Diantaranya adalah untuk mengembalikan kebugaran badan dan juga melancarkan peredaran darah dalam tubuh, terkhusus setelah melakukan hubungan suami-istri (jima’). Hal senada pun dilontarkan oleh para dokter dan ahli kesehatan. (Taudhihul Ahkam, 1/367)
Telah diriwayatkan dari shahabat Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir (menggauli) istri-istrinya secara berurutan. Tiap kali mendatangi istrinya, beliau pun mandi. Kemudian aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau cukupkan hanya dengan sekali mandi saja?’. Beliau menjawab:
هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَر
“Ini lebih suci, lebih baik, dan lebih bersih.” (HR. Ahmad no. 22742 dan Abu Dawud no. 219. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 219)
Pembaca, pembahasan kita kali ini bukan mengenai tata cara mandi suci, namun berkaitan dengan beberapa keadaan yang mengharuskan seseorang melakukan mandi suci. Masalah inilah yang akan kita bicarakan pada edisi kali ini.
Sebelum kita masuk kepada pokok pembahasan, perlu ditanamkan terlebih dahulu pada benak kita bahwa pembahasan seperti ini bukanlah sesuatu yang porno sebagaimana anggapan segelintir orang. Namun ini merupakan permasalahan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dibahas secara ilmiah oleh para ulama besar dari masa ke masa.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang tersisa dari problematika umat, melainkan telah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak heran, jika kaum musyrikin pernah terperangah seraya berkata kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu:
“Sungguh Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai pun perkara adab buang hajat. Salman menjawab: Ya, benar”. (HR. Muslim no. 262)
Tapi di sisi lain, jangan pula pikiran kita dibiarkan liar membayangkan hal-hal yang negatif, ketika mulai mamasuki pembahasan yang agak sedikit sensitif. Semuanya harus dibangun di atas sikap ilmiah, jujur, serta mengharapkan tambahan ilmu yang bermanfaat.
Pembaca, berikut ini beberapa keadaan yang mengharuskan mandi suci:
1. Mandi Karena Keluar Air Mani
Kewajiban mandi suci karena keluar mani ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا حَذَفْتَ فَاغْتَسِلْ مِنْ الْجَنَابَةِ
“Jika engkau mengeluarkan air mani, maka mandilah dengan mandi janabah.” (HR. Ahmad no. 806. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’ no. 125)
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Ini merupakan kesepakatan para ulama, baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in. Dan ini adalah pendapat dari Sufyan, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.” (Nailul Authar, 1/382)
Begitu pula wanita, mereka juga bisa keluar mani sebagaimana laki-laki. Dengan sebab mani itu, muncullah sifat identik sang anak, apakah memiliki kemiripan dengan ayah atau dengan ibunya. Ketika ditanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
نَعَمْ، فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ؟
“Ya, darimana adanya persamaan anak (dengan ayah atau ibunya kalau bukan karena mani tersebut)?.” (HR. Muslim no. 310 dari Ummu Sulaim)
Namun mani wanita berbeda dengan mani laki-laki, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَاءُ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
“Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani wanita encer dan berwarna kuning.” (HR. Muslim no. 310, 315 dari Ummu Sulaim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Adapun mani wanita berwarna kuning, encer. Namun terkadang warnanya bisa memutih karena kelebihan kekuatannya. Berikutnya, mani wanita bisa ditandai dengan dua hal: pertama; aromanya seperti aroma mani laki-laki. Kedua; terasa nikmat ketika keluar. Dan setelah keluarnya, syahwat menjadi reda.” (Syarah Shahih Muslim, 3/223)
Sebagaimana halnya laki-laki, bila seorang wanita keluar mani, maka ia wajib mandi suci.
Adapun jika yang keluar adalah madzi, atau wadzi maka tidak wajib mandi. Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi tidak terasa, dan seringkali keluar ketika syahwat seseorang memuncak sebelum bercampur dengan istrinya (jima’) ataupun di luar jima’.
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hal ini berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِي الْمَذْيِ الْوُضُوءُ وَفِي الْمَنِيِّ الْغُسْلُ
“Tentang madzi cukup berwudhu, sedangkan mani wajib mandi.” (HR. Ahmad no. 827)

2. Mandi Karena Mimpi Basah (ihtilam)
Seorang yang mengalami mimpi basah (ihtilam) dan keluar air mani, maka wajib baginya mandi suci. Baik yang mengalaminya laki-laki maupun wanita.
Beda halnya dengan seorang yang mimpi senggama namun ketika terbangun tidak melihat air mani yang keluar, maka tidak wajib baginya mandi suci. Hal ini sesuai dengan hadits dari Khaulah bintu Hakim radhiyallahu ‘anha, ketika ia bertanya kepada Rasulullah tentang wanita yang bermimpi seperti mimpinya laki-laki. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتَّى تُنْزِلَ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ غُسْلٌ حَتَّى يُنْزِلَ
“Tidak wajib baginya mandi sampai ia mengeluarkan mani, seperti halnya laki-laki tidak wajib mandi hingga ia mengeluarkan mani.” (HR. Ibnu Majah no. 594. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 2187)

3. Mandi Setelah Bersetubuh (Jima’)
Kemudian, keadaan lain yang menyebabkan seseorang wajib mandi suci adalah setelah melakukan jima’. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَاوَزَ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila kemaluan (suami) telah masuk ke dalam kemaluan (istrinya), maka wajib mandi.” (HR. At-Tirmidzi no. 108. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunani At-Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukkan bahwa jima’ merupakan sebab wajibnya seseorang melakukan mandi suci, baik keduanya mengeluarkan mani ataupun tidak. Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat, tabi’in dan para ulama setelahnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah. (Nailul Authar, 1/384)
Dalil yang menguatkan pendapat tersebut adalah sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
“Seseorang bertanya kepada Rasulullah mengenai laki-laki yang menyetubuhi istrinya, kemudian ia malas meneruskannya sebelum keluar mani. Ketika itu kebetulan ‘Aisyah duduk di situ. Kemudian Rasulullah menjawab: ‘Sungguh aku pernah berbuat demikian dengan (‘Aisyah) ini, lalu aku mandi.” (HR. Muslim no. 527)

4. Mandi Setelah Berhentinya Darah Haid
Kewajiban mandi suci setelah berhentinya darah haid ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis). Maka hendaknya kamu menjauhkan diri dari para istri (pada kemaluannya) ketika haid; dan janganlah kamu mendekati mereka (menjima’i) sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci (telah mandi) silakan datangi (jima’i) mereka dari tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan kaum wanita untuk melakukan mandi suci ketika darah haid telah berhenti sebelum mereka digauli oleh suaminya.
Dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dapati beliau pernah bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radhiyallahu ‘anha:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
“Apabila datang haidmu, maka tinggalkanlah shalat. Bila telah berlalu haidmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)
Hadits di atas menunjukkan wajibnya mandi suci bagi wanita yang telah berlalu masa haidnya, sebelum ia mengerjakan shalat. Karena shalatnya tidaklah sah kecuali bila sebelumnya telah melakukan mandi suci.
Oleh karena itu, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menukilkan kesepakatan para ulama tentang wajibnya mandi suci bagi wanita yang telah berhenti darah haidnya. (Al-Majmu’, 2/163)
5. Mandi Setelah Berhentinya Darah Nifas
Darah nifas adalah darah yang berasal dari rahim, dan keluar melalui kemaluan wanita usai melahirkan kandungannya. (Taudhihul Ahkam, 1/467)
Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengistilahkan haid dengan sebutan nifas, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلا نَرَى إِلا الْحَجَّ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِسَرِفَ أَوْ قَرِيبًا مِنْهَا حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ أَنَفِسْتِ يَعْنِي الْحَيْضَةَ قَالَتْ قُلْتُ نَعَمْ
“Kami keluar Madinah bersama Rasulullah guna melaksanakan ibadah haji. Maka tatkala kami sampai di sebuah daerah bernama Sarif, tiba-tiba aku mengalami haid. Rasulullah masuk menemuiku. Ketika itu beliau mendapatiku sedang menangis. Beliau bertanya: ‘Kenapa engkau menangis, apakah engkau mengalami nifas (yakni haid)? ‘Ya’, jawabku.” (HR. Al-Bukhari no. 285 dan Muslim no. 2114)
Oleh karena itu, ketika darah nifas telah berhenti dan tidak keluar lagi, maka wanita tersebut wajib melakukan mandi suci. Ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah.
Jika ada yang bertanya, bagaimana dengan wanita yang mengalami keguguran, apakah dihukumi sebagaimana wanita nifas? Maka hal ini dirinci oleh para ulama. Jika kandungan tersebut berumur 1 sampai 79 hari, maka wanita tersebut tidak dihukumi nifas. Sehingga tidak wajib baginya mandi suci.
Namun jika telah berusia 80 hari atau lebih, maka wanita tersebut dihukumi nifas. Ia tidak boleh melakukan shalat, puasa, dan beberapa ibadah lainnya hingga darahnya berhenti. Jika darahnya telah berhenti, ia wajib melakukan mandi suci. (Majmu’ Fatawa Al-Utsaimin, 11/222)
6. Mandi Bagi Seorang yang Baru Masuk Islam
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mandi bagi orang yang baru masuk Islam. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berargumen bahwa dahulu sangat banyak dari para shahabat yang sebelumnya kafir kemudian masuk Islam, namun tidak dinukilkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka semua untuk mandi.
Adapun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hukumnya wajib. Mereka berdalil dengan hadits dari Qais bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Aku mendatangi Rasulullah bermaksud untuk memeluk Islam. Kemudian beliau memerintahkanku untuk mandi dengan air dan daun sidr (bidara).” (HR. Abu Dawud no. 355, An-Nasa’i no. 188, At-Tirmidzi no. 550. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 128)
Demikian pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah shahabat Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu yang baru masuk Islam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan ia untuk mandi. (HR. Ahmad no. 7694. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Al-Irwa’ no. 128)
Hadits di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dua shahabat yang baru masuk Islam tersebut untuk mandi.
Adapun dalih tidak adanya penukilan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan semua shahabat yang baru masuk Islam untuk mandi, hal ini tidak menunjukkan bahwa mandi tidak wajib atas mereka. Karena dengan dua kisah yang telah disebutkan di atas, sudah cukup menunjukkan bahwa mandi bagi orang yang baru masuk Islam hukumnya wajib. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Asy-Syaukani, Al-Utsaimin, dan para ulama besar lainnya rahimahumullah. (Nailul Authar, 1/391)
Demikian beberapa hukum yang bisa kami sajikan pada pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin…

0 comments: