WASPADAILAH DUA GOLONGAN MANUSIA

 Abu Muhammad Herman

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dahulu para ulama salaf mengatakan, 'Berhati-hatilah dari dua golongan manusia, yaitu pemilik hawa nafsu yang telah terjerat oleh hawa nafsunya dan pemilik -kesenangan- dunia yang telah terbutakan hatinya oleh dunianya.'"

Beliau juga berkata: “Dahulu mereka juga mengatakan, 'Waspadalah dari fitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang bodoh. Karena sesungguhnya fitnah yang menjerat mereka berdua merupakan bencana yang bisa mencelakakan semua orang yang tertimpa oleh fitnah itu.'" (Dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga al-Fawa’id hal. 99 dan Ighatsat al-Lahfan hal. 668)

Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Dan barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

Itulah akibat ilmu yang tidak dibarengi dengan rasa takut kepada Allah atau karena rasa takut yang sangat tipis.  

Ketika ilmu mengabarkan kepada mereka tentang kebenaran dan ternyata hawa nafsunya tidak menyukainya maka dia pun lebih mengutamakan selera hawa nafsunya dan mencampakkan ilmunya. Inilah bencana yang menimpa golongan orang yang berilmu!

Oleh sebab itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata:

“Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi hakekat ilmu itu adalah khas-yah/rasa takut kepada Allah.” (dikutip dari al-Fawa’id, hal. 142).

Beliau juga mengatakan:

“Cukuplah rasa takut kepada Allah bukti keilmuan, dan cukuplah ketertipuan diri karena kemurahan Allah sebagai bentuk kebodohan.” (dikutip dari al-Iman karya Ibnu Taimiyah, takhrij al-Albani, hal. 22).

Diriwayatkan pula dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, bahwa beliau berkata:

“Ilmu itu ada dua macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk menghukum hamba-hamba-Nya.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya dengan sanad dha’if marfu’, lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan ketika menyinggung firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Kata beliau:

“Maknanya adalah tidak ada yang merasa takut kepada-Nya kecuali seorang yang berilmu. Ini artinya Allah memberitakan bahwa setiap orang yang takut kepada Allah maka itulah orang yang berilmu. Sebagaimana yang Allah ceritakan di dalam ayat lainnya (yang artinya), ‘Apakah sama orang yang senantiasa taat mengerjakan sholat dengan bersujud dan berdiri di sepanjang malam serta merasa takut akan hari akherat dan mengharapkan rahmat Rabbnya (dengan yang tidak demikian itu). Katakanlah: Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu.’ (QS. az-Zumar: 9). Sementara rasa takut/khas-yah itu pasti mengandung rasa harap, sebab kalau tidak demikian maka hal itu adalah sebuah keputusasaan. Sebagaimana halnya rasa harap pasti menuntut adanya rasa takut, sebab kalau tidak demikian maka yang ada adalah rasa aman -dari makar Allah-. Maka, orang-orang yang senantiasa memiliki rasa takut dan harap kepada Allah itulah sebenarnya ahli ilmu yang dipuji oleh Allah.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 20)

Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan, kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul ‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua orang yang durhaka/bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang dekat’.” Ibnu Taimiyah mengomentari, “Demikianlah penafsiran yang dikatakan oleh segenap ahli tafsir.” Lalu beliau juga mengutip perkataan Mujahid, “Setiap orang yang berbuat maksiat maka dia adalah bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 21)

Oleh karena itu pulalah mengapa para ulama salaf membiasakan diri untuk memulai karya mereka dengan menuliskan hadits innamal a’malu bin niyat. Hadits yang sangat agung dan mengingatkan tentang ajaran Islam yang paling mulia yaitu tauhid dan keikhlasan. Sebab dengan memperhatikan kandungan hadits yang agung itu manusia akan teringat bahwa semua amal mereka tidak ada artinya jika tidak dilandasi dengan keikhlasan kepada Allah ta’ala.

Keikhlasan yang ada pada diri seorang hamba itulah yang akan menuntut dirinya bersikap jujur di hadapan Allah ta’ala. Di mana saja mereka berada, Allah senantiasa mengawasi mereka. Innallaha kaana ‘alaikum raqiiba (sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi kalian), sebagaimana yang sering dibacakan oleh Nabi di hadapan para sahabat dalam khutbatul hajahnya…

al-Harits al-Muhasibi mengatakan, “…sesungguhnya keikhlasan itu membutuhkan shidq/kejujuran, sedangkan shidq tidak membutuhkan kepada apapun. Karena hakekat ikhlas adalah menginginkan Allah dalam melakukan ketaatan. Terkadang seseorang menghendaki -ridha- Allah dengan sholatnya akan tetapi hatinya lalai dari menghadirkan-Nya. Adapun shidq/kejujuran dan ketulusan adalah menginginkan Allah dalam beribadah dengan diiringi hadirnya hati untuk mengingat-Nya. Setiap orang yang tulus pasti ikhlas, namun tidak setiap orang yang ikhlas pasti tulus.” (dikutip dari penjelasan Imam an-Nawawi dalam syarah Arba’in yang terdapat dalam ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 29).

Kalau seorang hamba tulus dalam beribadah dengan ikhlas kepada Allah dan tidak berniat mencari pujian manusia niscaya dia akan berjuang menundukkan hawa nafsunya di kala sendirian sebagaimana ketika dia bersama dengan orang-orang. Dengan demikian, dia akan menjadi sosok ahli ilmu yang sejati, yang merasa takut kepada Allah ketika bersama orang lain maupun ketika sepi dan sendiri.

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:

“Seorang yang berilmu masih terus disebut sebagai orang bodoh sampai beramal dengan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkannya maka barulah dia menjadi orang yang alim.” (HR. al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ al-Ilmi al-’Amala)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Tidak akan terkumpul keikhlasan di dalam hati bersamaan dengan kecintaan kepada pujian dan sanjungan serta ketamakan terhadap apa yang dimiliki oleh manusia kecuali sebagaimana berkumpulnya air dengan api dan dhabb/sejenis biawak dengan ikan (mangsanya, pent)…” (al-Fawa’id, hal. 143).

Sesungguhnya kesesuaian ilmu dengan amalan, kunci utamanya adalah keterjagaan hati dari kotoran riya’ dan perusak-perusak keikhlasan. Sehingga ada di antara ulama salaf yang berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwaku, ikhlaslah niscaya kamu akan selamat.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

“Barangsiapa yang baik isi hatinya pastilah baik -amal- badannya, dan tidak sebaliknya.” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 11).

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata:

“Kekhusyu’an badan mengikuti kehusyu’an yang ada di dalam hati. Apabila seorang bukan termasuk orang yang mencari pujian dan menampak-nampakkan sesuatu yang tidak ada di dalam hatinya yaitu sebagaimana yang disindir dalam sebuah riwayat ‘Berlindunglah kalian dari khusyu’nya orang munafik’ yaitu badannya terlihat khusyu’ akan tetapi hatinya kosong dan lalai…” (al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 27).

Sufyan bin Uyainah berkata:

“Barangsiapa yang membaguskan tingkah lakunya di kala sembunyi niscaya Allah akan membaguskan urusannya di kala terang-terangan. Barangsiapa yang membaguskan hubungan dirinya dengan Allah maka Allah akan membaguskan hubungannya dengan orang lain. Dan barangsiapa yang beramal untuk kebaikan akheratnya niscaya akan Allah cukupkan urusan dunianya.” (HR. Ibnu Abi Dunya dalam Kitab al-Ikhlas, dinukil dari al-Iman hal. 11).

Begitu pula sebaliknya, semangat kuat untuk mengabdi kepada Allah namun tidak dilandasi dengan ilmu, justru menimbulkan kerusakan-kerusakan.

Tidakkah kita ingat betapa menyeramkan celaan dan kecaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sekte Khawarij? Beliau mengatakan bahwa mereka itu adalah ‘seburuk-buruk makhluk’, ‘orang yang membunuh mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah pada hari kiamat’, ‘mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka’, ‘mereka keluar dari agama laksana anak panah yang melesat menembus sasarannya’? Bukankah mereka itu adalah orang yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, “Kalian akan meremehkan sholat kalian dibandingkan dengan sholat mereka, dan puasa kalian jika dibandingkan dengan puasa mereka.”? Bahkan mereka adalah orang-orang yang pandai membaca al-Qur’an! Namun, lihatlah bagaimana semangat mereka yang kebablasan telah menggiring mereka menjadi kelompok sesat yang tega membunuhi ahli iman dan justru membebaskan ahlil autsan (penyembah berhala)! Apa lagi sebabnya kalau bukan karena kebodohan mereka terhadap manhaj/cara beragama yang benar yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dijelaskan oleh para sahabatnya? Allahul musta’an

Maka benarlah perkataan Amirul Mukminin fil Hadits al-Imam al-Bukhari rahimahullah yang membuat sebuah bab di dalam Kitab al-’Ilmi dalam Shahihnya dengan judul ‘al-’Ilmu qoblal qoul wal ‘amal’; ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Inilah kaedah agung yang telah dilupakan oleh sebagian besar kaum muslimin… Sehingga menyebabkan mereka berbicara, mengajak, dan bertindak tanpa landasan ilmu dari al-Kitab maupun as-Sunnah, namun hanya bersandar kepada adat tradisi dan taklid kepada tokoh-tokoh dan leluhur mereka yang tidak mengenal ajaran agama sebagaimana mestinya, subhanallah! Tidakkah mereka ingat firman Allah yang mulia (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang yang beriman lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka alternatif pilihan yang lainnya dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Dahulu para salaf menyebut orang-orang yang menganut pemikiran yang bertentangan dengan sunnah serta menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Rasul dalam perkara ilmu yang bersifat pemberitaan -dari Allah- maupun yang menyeleweng dalam masalah hukum amaliyah sebagai penganut syubhat dan pengekor hawa nafsu. Hal itu dikarenakan pada hakekatnya pemikiran yang menyelisihi Sunnah adalah kebodohan dan bukan ilmu, itu adalah hawa nafsu dan bukan agama. Oleh sebab itu orang yang tetap bersikeras mengikutinya digolongkan dalam kelompok orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa memperhatikan petunjuk dari Allah, yang pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan di dunia dan kebinasaan nanti di akherat…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 639).

Dengan demikian hakekat orang yang berilmu adalah orang yang setia mengikuti Sunnah. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Maka orang yang paling berilmu dan paling sehat akal, pemikiran, dan cara penilaiannya adalah orang yang akal, pemikiran, dan cara penilaian/istihsan-nya serta analoginya bersesuaian dengan Sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Ibadah yang paling utama adalah pemikiran yang bagus, yaitu mengikuti Sunnah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Dan orang-orang yang diberikan ilmu bisa melihat bahwa apa yang telah diturunkan oleh Rabbmu kepadamu itulah yang benar.’ (QS. Saba’: 6).” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 638-639)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Sumber dari semua fitnah itu adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan bersabar. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah: 24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan bekal sabar dan keyakinan itulah akan bisa dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 3). Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (dikutip dari adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir yang disusun oleh Syaikh Ali ash-Shalihi [5/134], lihat juga Ighatsat al-Lahfan hal. 669)

Dari sinilah kita menyadari betapa agungnya doa yang kita panjatkan setiap hari di dalam sholat kita, ‘ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhaalliin’. Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat. Dan dari sinilah kita bisa memahami mengapa sedemikian besar rasa takut para ulama salaf akan bahaya kemunafikan. Sampai-sampai dikatakan oleh Ibnu Abi Mulaikah, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semuanya merasa khawatir dirinya terjangkit kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:

“Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25).

Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Firman-Nya ‘ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhaalliin’ mengandung penjelasan mengenai dua ujung penyimpangan dari jalan yang lurus. Ayat ini menjelaskan bahwasanya penyimpangan kepada salah satunya menjerumuskan kepada kesesatan, yang pada hakekatnya itu merupakan bentuk kerusakan dalam hal ilmu dan keyakinan. Adapun penyimpangan kepada ujung yang lainnya menyeret kepada perkara yang dimurkai yang penyebabnya adalah kerusakan dalam hal niat dan perbuatan.” (al-Fawa’id, hal. 21)

Berkat taufik dari Allah untuk bisa bersabar di atas ketaatan dan menjauhi kemaksiatan serta mengamalkan ilmunya, seorang hamba akan terselamatkan dari murka Allah ta’ala. Sebagaimana berkat taufik dari Allah ta’ala untuk memahami kebenaran dan batasan-batasannya serta mengetahui cara yang benar dalam beribadah kepada Allah ta’ala, seorang hamba akan terselamatkan dari kesesatan.

Dan ini semua artinya adalah, setiap hari -bahkan setiap kali sholat, bahkan setiap raka’at [!]- kita dituntun oleh Allah ta’ala untuk memohon kepada-Nya anugerah kesabaran agar terlepas dari belenggu hawa nafsu yang menjerat kita dalam murka-Nya karena tidak mengamalkan ilmu, serta memohon kepada-Nya keyakinan supaya bisa terbebas dari hembusan syubhat dan kebodohan yang akan menyesatkan kita dari jalan-Nya. Sungguh besar kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Alangkah benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sungguh Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada perempuan ini -yang kehilangan anaknya dan menyusui setiap bayi yang ditemuinya, pent- kepada bayinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Subhanallah!

Maka waspadalah -wahai saudara-saudaraku- dari kedua golongan manusia itu; golongan manusia yang berilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, dan golongan manusia yang beramal tapi tidak melandasinya dengan ilmu

Jangan sampai kita termasuk di dalamnya! Dan marilah bertaubat dari kesalahan-kesalahan kita, karena dengan jalan taubat itulah keberuntungan akan bisa diraih. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian termasuk orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur: 31).

Ya Allah, kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami menyadari kezaliman yang kami lakukan kepada diri-diri kami maka ampunilah kami, sebab seandainya Engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami pastilah kami tergolong orang-orang yang merugi. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan kehormatan, dan rasa cukup -di dalam hati-. Segala puji hanya bagi-Mu, kami tak sanggup menghingga pujian untuk-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu. Tiada yang berhak diibadahi kecuali Dirimu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Yogyakarta, 11 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu membutuhkan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
http://abumushlih.com/waspadailah-dua-golongan-manusia.html/

0 comments: